Pendidikan pra-Nikah

PROBLEMATIKA DAN URGENSI
PENDIDIKAN PRA NIKAH
M. Khoirur Rofiq, SHI., MSI*

Perkawinan adalah sebuah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk memenuhi salah satu kebutuhan dasar manusia, yaitu kebutuhan untuk memperoleh kebahagiaan lahir dan batin melalui rumah tangga untuk selama-lamanya. Namun pada praktiknya, tidak jarang kebahagiaan yang diharapkan tersebut harus pupus di tengah jalan melalui perceraian.

Perceraian di Indonesia menjadi fenomena sosial yang perlu mendapat perhatian, mengingat akibat dari perceraian biasanya adalah adanya permusuhan antara masing-masing anggota keluarga. Perceraian juga berpengaruh negatif terhadap perkembangan jiwa anak-anak yang ditinggalkan, seperti perasaan rendah diri, malu, marah, dendam, benci, anak menjadi kacau dan liar, bahkan dapat memicu terjadinya kenakalan remaja.
Jumlah perceraian yang terjadi di Indonesia cukup banyak, dan terus meningkat dari tahun ke tahun. Data statistik menunjukkan angka 344.237 perceraian, dan meningkat menjadi 365.633 di tahun 2016 dengan rata-rata jumlah perceraian naik 3 persen per tahunnya. Di Yogyakarta, selama 5 tahun (2010–2014) permohonan perceraian sebanyak 26.267 yang masuk di seluruh Pengadilan Agama di DIY, dimana gugatan cerai oleh istri jauh lebih banyak dibandingkan permohonan cerai oleh suami dengan prosentase sekitar 70% : 30%. Angka perceraian di Purworejo (2012 – 2016) sebanyak 3.464 perceraian dari 32.827 peristiwa pernikahan, bisa dikatakan terdapat 10,54% perceraian dari total pernikahan.

Faktor-Faktor Perceraian
Perceraian bisa disebabkan oleh berbagai hal, seperti karena konflik suami-istri, hubungan yang tidak harmonis, tidak adanya tanggung jawab, masalah ekonomi, gangguan pihak ketiga, KDRT, akhlak buruk, cemburu yang berlebihan, suami/istri terjerat masalah hukum, dan perselingkuhan.
Sebagai contoh di Yogyakarta, perkara perceraian yang masuk di PA Yogyakarta (2010 – 2014) sebanyak 41.459. Alasan utamanya adalah masalah ekonomi (48,7%), ketidak harmonisan keluarga (24,9%), tidak ada tanggung jawab suami/istri (19,2%), dan gangguan pihak ketiga (4,4%). Faktor perceraian di Purworejo tidak jauh beda dengan di Yogyakarta. Untuk tahun 2016, terdapat 1.363 perkara perceraian di PA Purworejo sedang alasann utamanya adalah karena keluarga tidak harmonis (30.8%), tidak ada tanggung jawab (30,7%), masalah ekonomi (22.6%), gangguan pihak ketiga (5.5%), dan KDRT (3%).

Minimnya Program Pendidikan Pra Nikah
Minimnya pengetahuan berkeluarga sebelum menikah menjadi salah satu kendala yang sering dihadapi oleh Calon Pengantin (Catin) bahkan dialami juga oleh pasangan yang telah menikah. Di sisi lain program pendidikan pra nikah dan program yang serupa belum banyak dilakukan, kalaupun ada masih sangat terbatas.
Pendidikan pra nikah yang ada, biasanya dilakukan oleh Kantor Kemenag di tingkat Kabupaten, sedang di tingkat kecamatan dilakukan oleh KUA dan Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4). Menurut Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saifuddin, “Pendidikan pra nikah sudah dilaksanakan di 16 provinsi di Indonesia, namun masih terbatas karena anggaran yang sangat minim” (Media Indonesia).
Di Purworejo, pendidikan pra nikah baru dilakukan pada tahun 2017 oleh Kemenag Purworejo dan baru diikuti oleh 12% dari seluruh Catin yang mendaftar nikah. Tahun 2018, pelaksanaan pendidikan pra nikah belum diagendakan dan belum ada kepastian anggaran pelaksanaannya.

Kendala Pelaksanaan Program Pendidikan Pra Nikah 
Pertama, kekuatan payung hukum pelaksanaan program ini masih lemah. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Dirjen Bimas Islam No. DJ.491/11 tahun 2009 tentang Kursus Calon Pengantin yang kemudian disempurnakan dengan Peraturan Dirjen Bimas Islam No.DJ.II/542 tahun 2013 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kursus Pra Nikah. Peraturan tersebut masih bersifat anjuran, dan kekuatan hukumnya tidak sama dengan Undang-Undang yang bisa mewajibkan. 
Sedang UU Perkawinan N0.1 Tahun 1974 tidak mewajibkan pendidikan pra nikah. Terkait regulai hukum ini dijelaskan oleh Menteri Agama RI, “itu nanti masih jauh, sampai kebutuhan fasilitator terpenuhi”(Kompas). Lanjut Lukman “Bagi pasangan yang ingin menikah nantinya harus punya sertifikat pendidikan pra nikah. Kesiapan finansial penting, tapi kesiapan pemahaman terkait rumah tangga juga tak kalah penting”(Metrotvnews).
Kedua, anggaran pelaksanaan pendidikan pra nikah sangat terbatas seperti ulasan di atas. Dalam praktiknya, KUA mengalami permasalahan yang dilematis, di satu sisi pendidikan pra nikah penting untuk dilakukan, namun tidak ada anggaran, di sisi yang lain ketika program akan dilaksanakan dengan biaya dari Catin, bisa termasuk pelanggaran hukum yaitu pungutan liar (pungli) dan membebani peserta.
Ketiga, belum ditemukan dukungan dalil dalam hukum Islam yang secara eksplisit mewajibkan pendidikan atau bimbingan pra nikah. Berbeda halnya dengan di Katolik yang dalam kanoniknya menyebutkan kewajiban gereja untuk memebrikan pengkabaran rohani keluarga kepada Catin yang hendak menikah.

Kajian terhadap Urgensi Pendidikan Pra Nikah
Sejauh ini, kajian terhadap pelaksanaan pendidikan pra nikah cukup banyak dilakukan. Hasil dari beberapa kajian menyimpulkan bahwa pendidikan pra nikah sangat penting dilakukan oleh Catin dalam membekali pengetahuan dan persiapan membina keluarga. 
Pendidikan pra nikah terbukti memberikan pengaruh positif terhadap keharmonisan rumah tangga, di antaranya (1) menjaga keselamatan interaksi dan komitmen suami istri, dengan mengajarkan cara berkomunikasi dan kontrol emosi yang baik, (2) menjaga kelekatan hubungan antara orang tua dan anak dengan memberikan pengetahuan mendidik anak dan menjadi orang tua yang baik, (3) meningkatkan ketahanan keluarga dari keretakan ikatan perkawinan dan perceraian dengan membekali pengetahuan pelaksanaan fungsi-fungsi keluarga.
Kematangan usia, emosi, pendidikan, dan kematangan ekonomi seseorang sangat berpengaruh terhadap keharmonisan keluarga. Ia cenderung dapat mengetahui hak dan tanggung jawab, dapat mengelola komunikasi dengan baik, dan dapat mengelola konflik dalam keluarga. Dan sebaliknya, kurangnya kematangan tersebut membuat minimnya pemahaman tentang hak dan tanggung jawab, pola komunikasi kurang baik, dan kurang bijak mengendalikan emosi dan ego, sehingga dapat memicu terjadinya konflik-konflik kecil dalam keluarga dan sering berujung pada keputusan untuk bercerai dan mangabaikan buntut panjang dari perceraian.
Dari perspektif filsafat hukum Islam, pendidikan pra nikah memiliki urgensi karena mengandung kemaslahatan (maslahah) dan merupakan al-maqāṣid at-tābi’ah (tujuan pengikut) bagi sebuah pernikahan yang memperkuat dan mendukung terwujudnya pemeliharaan keturunan (ḥifẓ an-nasb) sebagai al-maqāṣid al-aṣliyyah (tujuan asal). Kurikulum kursus pra nikah juga memiliki relevansi dengan aspek pendidikan, aspek agama dan ibadah, aspek ekonomi, aspek sosiologis, dan aspek biologis.
Pendidikan pra nikah juga memiliki relevansi dengan tujuan nikah yaitu untuk melindungi kehormatan (ḥifẓ an-nasl) dan melindungi martabat seseorang (ḥifẓ al-‘irḍ), dan perlindungan harkat dan martabat itu dapat terpenuhi jika pasangan memahami makna dan hakikat perkawinan sesungguhnya dengan cara mengikuti pendidikan pra nikah.
Di negara lain, upaya semacam pendidikan pra nikah sudah dilakukan dan menjadi sarat untuk mendaftar nikah. Sebagai contoh, Singapura mewajibkan calon pengantin mengikuti pendidkan pra nikah yang mereka namakan dengan Pendidikan Bimbingan Rumah Tangga. Setelah selesai, calon pengantin akan mendapatkan sijil (sertifikat) yang dikeluarkan oleh Kantor Pernikahan Islam Setempat. Di Eropa, program nasihat sebelum perkawinan bagi pasangan yang hendak kawin dilakukan oleh pemerintah yang pelaksanaannya setara dengan kuliah satu semester.

Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa pendidikan berkeluarga yang didalamnya mengajarkan tentang hak dan kewajiban, manajemen komunikasi, konflik, dan keuangan keluarga, memang sangat penting dilakukan dan menjadi PR kita bersama untuk mewujudkannya demi tercapainya masa depan keluarga Indonesia yang baik dan generasi yang berkuaitas, karena generasi yang berkualitas lahir dari keluarga yang baik.
*Dosen Hukum Keluarga Islam STAI An-Nawawi Purworejo
























Tidak ada komentar:

Posting Komentar